Serampangan
Punggawa
Penyiaran

Ujian Tanpa Guna
AHMAD Riza Faisal masih ingat betul percakapannya dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mochamad Riyanto, pada pertengahan Juni lalu. Riyanto yang kala itu masih menjabat Ketua Panitia Seleksi Komisioner KPI Pusat menyampaikan kabar buruk: Riza tak lulus seleksi.
"Pak Riyanto bilang saya tidak lolos karena saya masih muda dan bagus. Dia ingin saya tetap di daerah, menjaga Lampung," kata Riza kepada Tempo, akhir November lalu. "Kalau saya dianggap bagus, bukankah saya tetap bisa menjaga industri penyiaran di daerah dengan menjadi komisioner KPI Pusat?" ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung ini. "Kalau soal usia, mengapa yang lebih muda dari saya justru lolos?"
Sederet pertanyaan Riza itu tak segera mendapat jawaban. Proses seleksi menggelinding cepat. Dimulai sejak April, semula ada 120 orang yang melamar menjadi pejabat negara pengawal frekuensi publik itu. Riza, Komisioner KPI Daerah di Lampung yang ikut mendaftar, lolos seleksi administrasi tapi tersandung pada tahap ujian tertulis.
Ujian tertulis pada awal Juni itu akan menentukan 20 nama perserta yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuh komisioner incumbent yang mencalonkan diri lagi, juga otomatis ikut seleksi final di Senayan. Jadi total ada 27 orang yang lolos untuk mengikuti fit and proper test. Lewat voting pada pekan pertama Juli lalu, sembilan orang akhirnya terpilih menjadi komisioner KPI masa bakti 2013 sampai 2016.
Tiga wajah lama bertahan: Judhariksawan, Azimah Subagijo, dan Idy Muzayyad. Enam lainnya nama baru: Bekti Nugroho, Agatha Lily, Amirudin, Sujarwanto Rahmat M Arifin, Danang Sangga Buwana, dan Fajar Arifianto Isnugroho. Pada awal Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden yang mengukuhkan mereka menjadi komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia.
Dua bulan kemudian, pada awal Oktober, barulah pertanyaan Riza menemukan jawaban. Dono Prasetyo, salah satu calon komisioner KPI yang juga tak lolos seleksi, menemukan bukti bahwa proses pemilihan tidak berjalan semestinya. “Tim seleksi KPI tidak transparan dan tidak akuntabel,” kata Dono ketika dihubungi Tempo, akhir Desember lalu.
Dia punya dua lembar dokumen yang berisi daftar skor calon komisioner yang ikut ujian tertulis. Mereka yang nilainya bagus justru gugur. Jika dokumen itu otentik, maka ada indikasi tim seleksi sengaja mengesampingkan hasil ujian kompetensi itu.
Apa motifnya? "Saya menduga ada kepentingan politik untuk mengamankan kepentingan industri televisi menjelang pemilihan umum," kata Dono. Berbekal bukti itu, mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) ini mengadukan amburadulnya proses seleksi KPI ke Komisi Ombudsman Indonesia dan Sekretariat Negara. Dia berharap proses seleksi diulang.
Kabar soal protes Dono menyebar cepat lewat media. Di Lampung, Riza yang mendengar soal ini, bergegas pergi ke Jakarta. Diam-diam, dia mendapat akses untuk melihat sendiri hasil ujian tertulis yang membuatnya gagal lolos ke Senayan. "Ternyata nama saya ada di urutan kedua terbaik," kata Riza pelan.
Cacat Sejak Lahir
PANITIA Seleksi Pemilihan KPI terdiri dari tiga orang: Ketua KPI Mochamad Riyanto, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Ichwan Sam dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Semarang, Edi Lisdiono.
Mereka bekerja berdasarkan Surat Keputusan yang diterbitkan Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan KPI soal Pedoman Rekruitmen KPI yang disahkan pada April 2011 lalu. Peraturan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang Penyiaran yang mengatur tata cara umum seleksi komisioner KPI.
Peraturan itu tegas-tegas menyebut bahwa anggota tim seleksi seharusnya lima orang. Kelima anggota ini mewakili pemerintah, tokoh masyarakat dan akademisi.
Sumber Tempo di KPI menyebutkan bahwa semula memang ada lebih dari 20 nama yang diajukan ke DPR sebagai anggota tim seleksi. Di antaranya ada Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Komaruddin Hidayat, tokoh pers dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Ashadi Siregar, dan eks Direktur Antara, Mohamad Sobary. Selain itu, praktisi penyiaran Inke Marris dan psikolog Elly Rusman Musa juga diusulkan.
Yang jadi masalah, nama-nama tersebut tidak dipilah-pilah dulu sebelum diajukan ke DPR. Nama Edi Lisdiono misalnya, nyaris tak pernah terdengar rekam jejaknya dalam dunia penyiaran. Edi dan Riyanto sama-sama tenaga pengajar di Untag Semarang.
Selain itu, nama-nama ini juga diajukan tanpa ditanya kesediaannya. Walhasil, setelah ditetapkan DPR, baru terungkap kalau nyaris semuanya berhalangan. Panitia yang seharusnya berisi lima orang, praktis dikerjakan tiga orang. "Saya sudah minta tambahan nama kepada DPR, tapi mereka bilang jalan saja terus," kata Riyanto ketika dimintai konfirmasi, akhir November lalu. Dengan proses yang karut marut itu, pada Mei lalu, tim seleksi mulai bekerja.

Asal Tabrak Aturan
JIKA mengacu pada peraturan KPI tentang pedoman rekruitmen, seharusnya seleksi komisioner penyiaran terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi atas berkas pendaftaran calon. Tahap kedua adalah uji kompetensi, yang terdiri dari tes tertulis dan tes psikologis. Mereka yang tak lolos di setiap tahap, langsung dicoret. Fit and proper test di parlemen adalah tahap ketiga dan final dari proses seleksi komisioner.
Kenyataannya, semua tahapan itu diabaikan. Dokumen-dokumen hasil pemilihan yang diperoleh Tempo menunjukkan bagaimana tim seleksi membuat aturan sendiri untuk menilai calon. Makalah mengenai visi dan misi calon komisioner –yang seharusnya dinilai pada tahap seleksi administrasi, justru dinilai pada tahap uji kompetensi.
Nilai visi misi itu lalu digabungkan dengan skor hasil ujian tertulis, untuk menentukan kelulusan uji kompetensi. Yang lebih parah, hasil tes psikologi yang seharusnya jadi salah satu dasar kelulusan malah sama sekali tidak dipakai.
Tim seleksi bahkan berinisiatif membuat satu ujian lagi: seleksi integritas. Cara penilaiannya amat subyektif: "Kami menilai integritas berdasarkan pengamatan kami atas latar belakang calon," kata Riyanto.
Meski sudah dihubungi berkali-kali, dua anggota tim seleksi KPI, Ichwan Syam dan Edi Lisdiono, menolak diwawancarai. Keduanya mengaku sakit. Hanya Riyanto yang bersedia bicara. Dia mengakui semua pelanggaran aturan rekruitmen KPI. Menurutnya, "Peraturan KPI soal pedoman rekruitmen itu kan cuma pedoman saja."
Akibat metode penilaian semacam itulah, Ahmad Riza Faisal tersingkir meski skornya terbaik kedua dalam ujian tertulis. Selain dia, ada delapan peserta lain yang nilainya memenuhi syarat, namun tak diloloskan ke DPR.
Posisi mereka diganti oleh sembilan orang lain yang nilainya pas-pasan, namun terdongkrak oleh hasil ujian "visi misi" dan "penilaian integritas". Ada calon yang nilai ujian kompetensinya amat buruk, namun tetap lolos karena mengantongi rekomendasi sebuah lembaga negara. Satu calon lain lolos karena "sudah senior".
Tak hanya itu. Hasil tes psikologi yang menemukan ada 13 calon komisioner yang tidak disarankan untuk menjadi pejabat publik, juga diabaikan. Dua orang komisioner KPI sekarang sebenarnya tak lolos psikotest.
Pada akhir Juni lalu, daftar 20 nama yang dihasilkan dari proses seleksi nan semrawut itu kemudian disetorkan ke DPR, bersama nama tujuh komisioner incumbent yang kembali mencalonkan diri. Sekarang bola ada di Senayan.
Tim Bayangan Senayan
TIDAK banyak yang tahu, sebelum terbentuknya panitia seleksi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, pada akhir Januari lalu, Komisi Informasi DPR membentuk sebuah tim khusus bernama Tim Sembilan. Anggotanya adalah perwakilan setiap fraksi di parlemen.
Dalam pertemuan konsultasi panitia seleksi dengan Tim Sembilan pada 14 Mei tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Informasi DPR Ramadhan Pohan menjelaskan tugas tim itu dengan gamblang. “Sesuai UU Penyiaran, DPR yang berwenang memilih komisioner KPI Pusat. Untuk itu, kami memberi mandat penuh pada Tim Sembilan untuk memilih komisioner KPI,” katanya.
Pernyataan politikus Demokrat ini tercantum dalam notulensi rapat yang salinannya diperoleh Tempo. Dengan demikian, sejak awal parlemen sebenarnya sudah mengambilalih proses pemilihan KPI. Tim seleksi Riyanto hanya kepanjangan tangan dari fraksi-fraksi di Senayan.
Ditanya soal ini, Ramadhan membenarkan. “Yang menyeleksi nantinya kan DPR juga. Jadi sebelas duabelaslah,” katanya, Desember lalu. Riyanto juga mengaku tahu soal ini. “Tugas tim seleksi hanya mempresentasikan hasil pemilihan pada Tim Sembilan,” katanya. “Semua kami laporkan kepada mereka.”
Anggota tim sembilan adalah: Hayono Isman (Demokrat), Tantowi Yahya/Meutia Hafidz (Golkar), Evita Nursanti (PDIP), Mardani (PKS), Djazuli (PKB), Muhammad Najib (PAN), Husnan Bey (PPP), Ahmad Muzani (Gerindra) dan Susaningtyas Kertopati (Hanura).
Sepanjang proses seleksi di KPI, Tim Sembilan beberapa kali meminta laporan dari Tim Seleksi. Dalam satu rapat, seorang anggota DPR secara terbuka meminta keterangan soal latar belakang para calon. “Kalau perlu CV-nya sekalian,” kata satu politikus, seperti tercantum dalam notulensi rapat KPI yang diperoleh Tempo.
Ketika ditanya soal ini, anggota Tim Sembilan, Tantowi Yahya, buru-buru meluruskan. “Kami tidak cawe-cawe soal siapa yang lulus ujian atau tidak,” katanya, November lalu. Tim ini, kata dia, hanya ingin memastikan siapa saja yang ikut seleksi KPI. “Supaya kami tidak kecolongan,” katanya. “Intervensi” DPR sejak awal proses seleksi semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya.
Pada pekan pertama Juli, uji kepatutan dan kelayakan atas 27 calon komisioner KPI akhirnya digelar di Komisi Informasi DPR. Di sinilah pertarungan politik resmi dimulai. Setiap fraksi memiliki calon unggulannya sendiri.
Salah satu fraksi yang jelas punya kepentingan untuk mengamankan industri televisi adalah Hanura. Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo adalah calon wakil presiden dari partai itu. Politikus Hanura, Susaningtyas Kertopati, tak malu mengakuinya. “Yang menguntungkan MNC, saya suka. Yang tidak menguntungkan ya enggak suka,” ujarnya terus terang.
Fraksi Golkar yang terafiliasi dengan grup media Viva –ANTV dan tvOne-- juga tak menutupi kepentingannya. “Fraksi lain juga begitu, apa bedanya? Ini demokrasi,” kata Agus Gumiwang Kartasasmita, politikus Golkar di Komisi Informasi.
Sumber Tempo yang mengikuti proses lobi antar fraksi pada malam penentuan hasil uji kelayakan, mengakui panasnya negosiasi. Bahkan, kata dia, pola tawar-menawarnya pun berbeda dengan lobi pada penentuan pimpinan lembaga negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Komisi Yudisial.
“Kalau biasanya, setiap fraksi punya daftar nama yang didukung, kali ini ada fraksi yang terang-terangan minta ada nama yang tidak boleh lolos,” kata sumber ini. Dia mengaku tak pernah mengalami dinamika politik sekencang itu dalam proses pemilihan komisioner lembaga lain. “Ini non-negotiable,” kata dia menirukan tuntutan satu politikus fraksi itu.
Menjelang tengah malam pada Rabu pertama Juli lalu, sembilan komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia akhirnya terpilih. Sekarang, lebih dari enam bulan kemudian, buah dari proses seleksi yang serampangan itu, mulai dirasakan publik.